Antara Ja(t)uh, Rindu dan Uranium
Oleh: Pety Rahmalina
Sampai saat aku melihat mu
lagi, aku ingin mengucapkan beberapa kata dengan lancar di hadapanmu. Tapi aku
tidak yakin bisa melakukannya. Kau tahu? Bahkan diri ini saja beku di hadap mu,
juga aksara dan kekata lenyap dalam benakku. Kau tahu? Saat diri ja(t)uh pada
jarak yang terbentang, rindu itu selalu kutikam. Tak mudah menikam rasa rindu
yang selalu hadir menemani ku. Eh, jika suatu saat kita bertemu dan aku berkata
bahwa pertemuan akan membunuh rasa rindu. Maka aku akan menyalahkan mu, karena setelah
pertemuan itu rindu beramitosis menjadi beberapa kali lipat setiap detiknya.
Kau tahu? Rasa rindu itu seperti Uranium dengan reaksi fisi yang terus
melepaskan neutron yang tak terhingga. Begitu pun rindu yang berkembang menjadi
luapan rasa yang memenuhi ruang dalam hati pada setiap waktunya.
Hai kamu,
kadang aku takut tidak bisa mengendalikan rindu sehingga ia akan meledak dan
melukai. Ia memancarkan radiasi rasa yang tak bisa ku kendalikan. Mungkin aku
harus membuat reaktor dalam hatiku ya? Seperti Uranium dalam reaktor nuklir
yang dikendalikan. Ehm, kurasa aku harus bisa menata setiap rindu. Jangan ragu,
aku memang bukan pengendali udara, tanah, air atau pun api. Tapi aku harus bisa
mengendalikan hati atas semua rindu yang tertuju padamu. Dalam rangkaian doa
yang mengangkasa semoga setiap lipatan doa sampai padamu. Karena hanya doa yang
akan sampai ke mana dan pada siapa saja. Entah dalam berapa waktu. Karena
nyatanya aku tak tahu ke mana tulisan ini tertuju? Pada kamu yang aku pun tak
tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar