Ku Ikhlaskan Cinta
Oleh:
Pety Rahmalina
***
Ata memperhatikan gadis cantik di
sampingnya. Gadis bermata coklat madu yang kini asyik
memandang sebuah
buku yang tengah ia baca. Dalam keadaan apapun, di mata Ata, sosok di
sampingnya merupakan maha karya Tuhan yang paling sempurna.
Tara tahu, bahwa ia sedang
diperhatikan pria itu. Pria yang berta’aruf dengannya. Ia pun tahu, tak jauh dari posisi
duduknya, ia melihat kedua sahabatnya pun sedang memperhatikannya.
“Shalat Isya’
sebentar lagi akan berlangsung, kau masih tetap ingin di sini?” tanya Ata yang kini
tengah mengingatkan gadis di sampingnya.
“Sebentar lagi, kau duluan saja. Aku akan bersiap
shalat kalau adzan sudah berkumandang” Gadis itu berkata tanpa menghiraukan pria
yang ada di dekatnya.
Laki-laki dengan rambut hitam itu terdiam beberapa saat sebelum
akhirnya bangkit dari posisi duduknya. Ia tersenyum manis ke arah Tara.
“Baiklah, aku akan wudhu terlebih dahulu.” Ata pun berlalu menuju
tempat wudhu masjid yang ada di sebelah perpustakaan masjid.
Tara
menghentikan aktivitasnya saat adzan shalat Isya’ telah dikumandangkan.
Perlahan tapi pasti ia menutup buku yang tengah ia telisik, mengembalikan
buku tebal itu pada rak-rak buku yang tertata rapi. Sedetik kemudian
ia mengambil air wudhu, mengenakan mukena dan ikut melaksanakan
shalat isya’.
***
Ata memandang nanar sebatang
cokelat dalam genggamannya. Cokelat yang sudah ia hiasi dengan pita cantik
berwarna merah, warna yang kebanyakan orang mengatakan sebagai arti cinta dan
keberanian. Ia mendatangi Tara yang tengah berkutat dengan buku-buku tebal di
perpustakaan. Tidakkah itu sangat membosankan?
“Tara,” gumam Ata.
Gadis bermata
coklat madu itu tersebut tidak menjawab ataupun menoleh. Ia memfokuskan seluruh
perhatiannya pada buku dalam genggamannya. Ata memutar otak, ia mencari cara
agar gadis itu mau menoleh padanya, tak peduli walau sekilas. Setidaknya, jika Tara menoleh,
itu berarti ia masih menyimpan tempat di mata coklat madunya untuk Ata. Dengan pelan,
laki-laki pemilik mata obsidian tersebut melangkah mendekati sosok yang tengah duduk itu.
“Untukmu.” Ata menyodorkan cokelat
berhiaskan pita merahnya.
Tara mengambil dengan tangan kanan tanpa
menolehkan wajahnya ataupun melihat laki-laki itu lewat ekor matanya. Ia sama
sekali tidak melakukan apa-apa setelahnya, pun tidak mengucapkan terima kasih.
Ia terus bergumul dengan buku tebal.
Ata mendesah berat. Ia sungguh
kecewa. “Tara, tak bisakah kau luangkan waktumu untukku? Lima menit saja tidak, satu menit juga tak apa.
Setidaknya lihatlah kesungguhanku memberikan cokelat itu padamu, atau
ucapkanlah sebait kata terima kasih seperti tempo itu. Apakah begitu sulit?” Ata
mulai tak mampu mengontrol dirinya.
“Sebenarnya apa maumu, Ata?” tanya
Tara tanpa mengalihkan pandangan matanya dari buku yang sedang ia baca.
“Aku hanya ingin… kau melihatku,
sebentar saja.”
Gadis itu menutup bukunya. Ia
mendongkakkan kepala demi memandang sosok yang kini tak jauh darinya. Manik coklat
madunya menatap tajam ke arah manik
obsidian itu, seolah menelanjangi apa yang ada di sana. “Aku sudah melihatmu.
Jadi, jauh-jauh dariku mulai saat ini,” ujar Tara datar. Ia melangkah melewati
bahu Ata, sedikit menabraknya dengan sengaja. Entah apa maksud di balik sikapnya.
“Menjaulah
dariku, Ata. Setidaknya itu lebih baik.” Tara
berguman lirih namun masih cukup jelas dapat terdengar oleh Ata.
“Kenapa? Apa aku salah? Kenapa kau
terkesan menjauhiku Tara?” Ata memandang nanar gadis yang memunggunginya itu.
“Tidak, kau tidak
bersalah. Aku hanya tidak bisa bersamamu lagi.” Bahu Tara
bergetar saat kalimat itu tertutur dari bibirnya.
“Tapi apa
alasannya?” tanya Ata masih belum dapat menerima keputusan dari Tara.
“Aku tak bisa
menjelaskan apapun. Kelak kau akan mengetahui jawaban atas segala
pertanyaan yang ada dalam benakmu. Maafkan aku dan Aku mohon padamu ikhlaskan
aku karena aku akan pergi dari hidupmu bahkan mungkin untuk selamanya.” Itulah
kalimat terakhir Tara yang masih tergiang dalam benak Ata sebelum gadis itu
berlalu dan hilang dari jarak pandang pria itu.
Sejak saat
itu Tara menghilang dari jarak pandang Ata. Tak ada kabar
apapun dari gadis bermata coklat madu itu selama dua minggu setelah kejadian
itu. Tak ada yang
tau dimana gadis itu berada. Hingga pada hari terakhir di bulan Juli
seseorang menguak segalanya tentang Tara.
***
“Sebenarnya
sudah beberapa hari yang lalu aku ingin mengajakmu ke sana” ujar Pria bertubuh
tinggi dan tampan itu yang tak lain adalah kakak lelaki Tara.
Sementara itu
Ata masih bingung tak mengerti kemana ia akan dibawa. “Kita akan pergi kemana?”
tanya Ata.
“Nanti kau pun akan tahu” Jawaban tersebut
sama sekali tak membuat Ata puas.
Ata dan pria
bertubuh tinggi itu melewati padang rumput yang menghijau. Beberapa
menit kemudian pria bertubuh tinggi itu menggunakan kacamata hitam dan sebuah
kopiah berwarna hitam dan mengambil beberapa tangkai bunga lili putih yang
merupakan bunga yang sama disukai Tara. Sementara itu benak Ata masih dipenuhi
berbagai macam pertanyaan.
Pria bertubuh
tinggi itu membawanya menelusuri sebuah tempat indah dengan hamparan rumput
hijau yang menghiasi seluruh penjuru tempat itu. Hingga
deretan nisan menyadarkan Ata bahwa tempat itu adalah pemakaman. Ata masih
mengekor di belakang kakak dari Tara. Hingga mereka berhenti di depan sebuah pusara
yang terlihat masih baru karena pusara itu masih berupa tanah basah dengan
bunga-bunga mawar bertebaran di atasnya dan setangkai lili putih yang tampak sudah mulai layu.
“Dia telah
pergi,Ata. Tara meninggal 7 hari yang lalu karena kanker otak stadium akhir
yang melemahkannya. Ia memang telah meninggalkan semuanya
selama-lamanya. Ia menyembunyikan semuanya darimu karena ia
yakin kau akan bahagia tanpanya dan aku telah menepati janjiku padanya untuk
memberi tahu segala alasan yang selalu kau pertanyakan,” ucap pria
bertubuh tinggi itu dengan nada pilu kemudian berjongkok dan meletakan beberapa
tangkai bunga lili di pusara adik kesayangannya.
Ata bersimpuh
di samping pusara itu, kedua kakinya sudah tidak mampu menompang tubuhnya. Ia terduduk
lemas dan masih tak percaya dengan segalanya. Kristal putih mengalir menghiasi
wajah tampannya, mata obsidiannya masih terpaku menatap pusara
itu dan kedua tangannya memeluk pusara milik Tara. Jadi inilah
jawaban atas segala sikap dan keputusan Tara selama ini. Ata masih tak
habis pikir Tara telah pergi bersama luka yang telah ia kubur bersama dengan
penyakitnya itu. Betapa bodohnya dia yang tak menyadari bahwa
wajah pucat Tara selama ini selalu terhalangi oleh raut wajah serius yang selalu
gadis itu buat. Namun kini apa yang dapat ia lakukan untuk
Tara? Semua sudah
terlambat dan sepertinya takdir Tuhan memang menggariskan bahwa untuk
menunjukan cintanya pada Tara dan cinta Tuhan pada Tara, ia harus mengikhlaskan
cintanya.
Mau baca cerita yang lain? Stay tune aja ya di blog ini :D Semoga readers suka ceritanya ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar