Cari Blog Ini

Kamis, 22 Desember 2016

Ku Ikhlaskan Cinta



Ku Ikhlaskan Cinta
Oleh: Pety Rahmalina

***
 
Ata memperhatikan gadis cantik di sampingnya. Gadis bermata coklat madu yang kini asyik memandang sebuah buku yang tengah ia baca. Dalam keadaan apapun, di mata Ata, sosok di sampingnya merupakan maha karya Tuhan yang paling sempurna.
Tara tahu, bahwa ia sedang diperhatikan pria itu. Pria yang berta’aruf dengannya. Ia pun tahu, tak jauh dari posisi duduknya, ia melihat kedua sahabatnya pun sedang memperhatikannya.
Shalat Isya’ sebentar lagi akan berlangsung, kau masih tetap ingin di sini?” tanya Ata yang kini tengah mengingatkan gadis di sampingnya.
 “Sebentar lagi, kau duluan saja. Aku akan bersiap shalat kalau adzan sudah berkumandang Gadis itu berkata tanpa menghiraukan pria yang ada di dekatnya.
Laki-laki dengan rambut hitam itu terdiam beberapa saat sebelum akhirnya bangkit dari posisi duduknya. Ia tersenyum manis ke arah Tara. “Baiklah, aku akan wudhu terlebih dahulu.” Ata pun berlalu menuju tempat wudhu masjid yang ada di sebelah perpustakaan masjid.
Tara menghentikan aktivitasnya saat adzan shalat Isya’ telah dikumandangkan. Perlahan tapi pasti ia menutup buku yang tengah ia telisik, mengembalikan buku tebal itu pada rak-rak buku yang tertata rapi. Sedetik kemudian ia mengambil air wudhu, mengenakan mukena dan ikut melaksanakan shalat isya’.

***

Ata memandang nanar sebatang cokelat dalam genggamannya. Cokelat yang sudah ia hiasi dengan pita cantik berwarna merah, warna yang kebanyakan orang mengatakan sebagai arti cinta dan keberanian. Ia mendatangi Tara yang tengah berkutat dengan buku-buku tebal di perpustakaan. Tidakkah itu sangat membosankan?
 “Tara,” gumam Ata.
Gadis bermata coklat madu itu tersebut tidak menjawab ataupun menoleh. Ia memfokuskan seluruh perhatiannya pada buku dalam genggamannya. Ata memutar otak, ia mencari cara agar gadis itu mau menoleh padanya, tak peduli walau sekilas. Setidaknya, jika Tara menoleh, itu berarti ia masih menyimpan tempat di mata coklat madunya untuk Ata. Dengan pelan, laki-laki pemilik mata obsidian tersebut melangkah mendekati sosok yang tengah duduk itu.
“Untukmu.” Ata menyodorkan cokelat berhiaskan pita merahnya.
 Tara mengambil dengan tangan kanan tanpa menolehkan wajahnya ataupun melihat laki-laki itu lewat ekor matanya. Ia sama sekali tidak melakukan apa-apa setelahnya, pun tidak mengucapkan terima kasih. Ia terus bergumul dengan buku tebal.
Ata mendesah berat. Ia sungguh kecewa. “Tara, tak bisakah kau luangkan waktumu untukku? Lima menit saja tidak, satu menit juga tak apa. Setidaknya lihatlah kesungguhanku memberikan cokelat itu padamu, atau ucapkanlah sebait kata terima kasih seperti tempo itu. Apakah begitu sulit?” Ata mulai tak mampu mengontrol dirinya.
“Sebenarnya apa maumu, Ata?” tanya Tara tanpa mengalihkan pandangan matanya dari buku yang sedang ia baca.
“Aku hanya ingin… kau melihatku, sebentar saja.”
Gadis itu menutup bukunya. Ia mendongkakkan kepala demi memandang sosok yang kini tak jauh darinya. Manik coklat madunya menatap tajam ke arah manik obsidian itu, seolah menelanjangi apa yang ada di sana. “Aku sudah melihatmu. Jadi, jauh-jauh dariku mulai saat ini,” ujar Tara datar. Ia melangkah melewati bahu Ata, sedikit menabraknya dengan sengaja. Entah apa maksud di balik sikapnya.
“Menjaulah dariku, Ata. Setidaknya itu lebih baik.” Tara berguman lirih namun masih cukup jelas dapat terdengar oleh Ata.
 “Kenapa? Apa aku salah? Kenapa kau terkesan menjauhiku Tara?” Ata memandang nanar gadis yang memunggunginya itu.
“Tidak, kau tidak bersalah. Aku hanya tidak bisa bersamamu lagi.” Bahu Tara bergetar saat kalimat itu tertutur dari bibirnya.
            “Tapi apa alasannya?” tanya Ata masih belum dapat menerima keputusan dari Tara.
“Aku tak bisa menjelaskan apapun. Kelak kau akan mengetahui jawaban atas segala pertanyaan yang ada dalam benakmu. Maafkan aku dan Aku mohon padamu ikhlaskan aku karena aku akan pergi dari hidupmu bahkan mungkin untuk selamanya.” Itulah kalimat terakhir Tara yang masih tergiang dalam benak Ata sebelum gadis itu berlalu dan hilang dari jarak pandang pria itu.

***
 
Sejak saat itu Tara menghilang dari jarak pandang Ata. Tak ada kabar apapun dari gadis bermata coklat madu itu selama dua minggu setelah kejadian itu. Tak ada yang tau dimana gadis itu berada. Hingga pada hari terakhir di bulan Juli seseorang menguak segalanya tentang Tara.

***

“Sebenarnya sudah beberapa hari yang lalu aku ingin mengajakmu ke sana” ujar Pria bertubuh tinggi dan tampan itu yang tak lain adalah kakak lelaki Tara.
Sementara itu Ata masih bingung tak mengerti kemana ia akan dibawa. “Kita akan pergi kemana?” tanya Ata.
 “Nanti kau pun akan tahu” Jawaban tersebut sama sekali tak membuat Ata puas.
Ata dan pria bertubuh tinggi itu melewati padang rumput yang menghijau. Beberapa menit kemudian pria bertubuh tinggi itu menggunakan kacamata hitam dan sebuah kopiah berwarna hitam dan mengambil beberapa tangkai bunga lili putih yang merupakan bunga yang sama disukai Tara. Sementara itu benak Ata masih dipenuhi berbagai macam pertanyaan.
Pria bertubuh tinggi itu membawanya menelusuri sebuah tempat indah dengan hamparan rumput hijau yang menghiasi seluruh penjuru tempat itu. Hingga deretan nisan menyadarkan Ata bahwa tempat itu adalah pemakaman. Ata masih mengekor di belakang kakak dari Tara. Hingga mereka berhenti di depan sebuah pusara yang terlihat masih baru karena pusara itu masih berupa tanah basah dengan bunga-bunga mawar bertebaran di atasnya dan setangkai lili putih  yang tampak sudah mulai layu.
“Dia telah pergi,Ata. Tara meninggal 7 hari yang lalu karena kanker otak stadium akhir yang melemahkannya. Ia memang telah meninggalkan semuanya selama-lamanya. Ia menyembunyikan semuanya darimu karena ia yakin kau akan bahagia tanpanya dan aku telah menepati janjiku padanya untuk memberi tahu segala alasan yang selalu kau pertanyakan,” ucap pria bertubuh tinggi itu dengan nada pilu kemudian berjongkok dan meletakan beberapa tangkai bunga lili di pusara adik kesayangannya.
Ata bersimpuh di samping pusara itu, kedua kakinya sudah tidak mampu menompang tubuhnya. Ia terduduk lemas dan masih tak percaya dengan segalanya. Kristal putih mengalir menghiasi wajah tampannya, mata obsidiannya masih terpaku menatap pusara itu dan kedua tangannya memeluk pusara milik Tara. Jadi inilah jawaban atas segala sikap dan keputusan Tara selama ini. Ata masih tak habis pikir Tara telah pergi bersama luka yang telah ia kubur bersama dengan penyakitnya itu. Betapa bodohnya dia yang tak menyadari bahwa wajah pucat Tara selama ini selalu terhalangi oleh raut wajah serius yang selalu gadis itu buat. Namun kini apa yang dapat ia lakukan untuk Tara? Semua sudah terlambat dan sepertinya takdir Tuhan memang menggariskan bahwa untuk menunjukan cintanya pada Tara dan cinta Tuhan pada Tara, ia harus mengikhlaskan cintanya.

Mau baca cerita yang lain? Stay tune aja ya di blog ini :D Semoga readers suka ceritanya ya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar